Selamat datang di Kawasan Penyair Jawa Timur Terima kasih atas kunjungan Anda

Kamis, 23 Februari 2012

Edy Sumartono


Edy Sumartono lahir di Blora 8 Juni 1969, lulusan Teologia, bekerja sebagai Pendeta Jemaat Gereja Kristen Indonesia dengan basis pelayanan GKI Tulungagung. Kumpulan puisinya “Naik Kereta Bersama Ayam”
Alamat : Wisma Indah B 62 Kedungwaru Tulungagung 66224 Jawa Timur




wayang kehidupan

layar lebar putih terbuka
asap dupa membumbung seiring doa kepada sang hyang widhi
blencong dinyalakan terangi layar lebar putih
dalang tua berjenggot putih membeber lakon :

alkisah di negeri antah berantah...
negeri yang gemah ripah
hutan, laut dan gunung nan limpah
satwa dan bunga nan ruah

negeri yang enyahkan penindas, penjajah
dengan semangat yang tak kan patah
oleh rakyat yang gagah

negeri yang menjunjung tinggi musyawarah
rakyat yang menentukan segala arah
tidak hanya pemerintah

lalu...
datanglah gara-gara
negeri terpecah belah
kacau balau

datanglah penunggang gajah....
tentramkan negeri
kembangkan industri
masukan hutang luar negeri
musyawarah dikebiri
mereka yang menentukan segala arah
yang ada hanya satu perintah : stabilitas

maka lahirlah orang berdasi...
menyerobot tanah
hutan, laut dan gunung dijarah
satwa dan bunga dirayah
untuk industri megah
untuk rumah para pemegang perintah
untuk menimbun uranium demi lampu yang cerah

apa yang terjadi dengan rakyat...
keluh dan kesah
hilanglah hak dari allah
haruskah menyerah ?

musyawarah payah, payah, payah dan payah, ya payah
rakyat resah, resah, resah dan resah, ya resah
rakyat susah, susah, susah dan susah, ya susah

dalang tua berjenggot tancapkan gunungan
titikan air mata
kisah sedih terbeber sudah
dalang dan penonton bertanya : inikah lakon kehidupan kami ?

bandungan 10 Feb 1992


panen terakhir

panen tiba...
petani riang bahagia penuh harap
harap akan hidup lebih indah
harap akan baiknya harga gabah
harap akan sawah yang senantiasa gemah ripah
harap akan tetap dapat mengarap dan memiliki sawah
harap akan dapat mewariskan semuanya kepada putra wayah
dan harap, harap dan harap, harap itu akankah menjadi kenyataan

panen tiba...
petanibimbang ragu dan cemas
cemas akan anjloknya harga beras
cemas akan harga pupuk yang melambung ke atas
cemas akan hama yang mengganas
cemas akan pabrik dan gedung yang kian merembas
cemas akan tikus berdasi yang selalu memeras
cemas akan air yang kian terkuras
dan cemas ini akankah terjawab ?
atau hanya dikemas dalam saku sfari pejabat teras

panen tiba...
petani tanya, tanya dan bertanya
bertanya tentang hari esok
bertanya tentang belaian angin manja senja
bertanya tentang sirnanya embun pagi dan mentari pagi
bertanya tentang larinya air sejuk di parit raya
bertanya tentang musnahnya petak-petak dewi sri
bertanya tentang datangnya belantara beton yang kian subur
beranya tentang nasib para bocah
bertanya tentang hilangnya layang-layang musim panen
bertanya tentang hancurnya budaya dan tradisi
dan di atas semuanya itu ia bertanya dan bertanya inikah panen terakhir ?

pecangaan medio oktober 1992


beri aku istirahat

bertahun sudah
aku sangat menderita
dengan bajak dan cangkulmu kemudian traktormu
dengan racun serangga dan pupuk kiamiamu

hancur luluhlah aku
hilang sudah kemampuanku untuk menumbuhkan tunas-tunas baru
aku sangat menderita
mengerang seperti ibu yang sakit persalinan

entah berapa lama lagi itu semua masih kau lakukan kepadaku
aku telah gersang, panas dan sekarat
ajalku telah dekat
humus sudah tiada lekat dalamku

meski demikian kau tetap memaksa dan memperkosa aku
agar aku tetap memberi buah
agar aku tetap menumbuhkan tunas
membangkitkan rantai kehidupan

sekarang,
tolonglah aku
beri aku istirahat
kembalikan tahi kebo dan sapi
aku rindu padanya
sebaliknya aku benci ZA dan ureamu

pecangaan 24 april 1993

republik maling

ketika sebuah negeri
diperintah tanpa hati
maka lenyaplah jati diri
hidup tanpa harga diri
mengemis utang di pelosok bumi

ketika sebuah negeri
diperintah tanpa hati
semua orang ingin menjadi petinggi
bukan untuk mengurus negeri
tetapi untuk menguras perut pertiwi dan memeras rakyat sendiri

ketika sebuah negeri
diperintah tanpa hati nurani
tanpa malu-malu para petingginya jadi pencuri
namun tidak mau dibui
lalu suap kanan kiri

maka jadilah negeri ini
republik maling

bondowoso 10 mei 2002


oh jakarta

jakarta...
kulitku hangus terbakar hawamu yang panas
peluhku kering sudah, terbakar mentarimu yang ganas
tenggorokanmu pecah oleh air minummu
air comberan yang kau campur kaporit
yang kau sediakan bagi anakmu yang tak berduit

jakarta...
kau sudah habis
langitmu bocor
air minummu racun
udaramu debu
daunmu, pohonmu plastik
hutanmu beton

jakarta...
hidupmu sudah tak menginjak bumi
dan mengantung langit
teknologi sampah dari eropa, jepang dan usa
itulah gantungan hidupmu

jakarta, jakarta
kembalilah pada pangkuan pertiwi
dan lindungan angkasa

jakarta 19 juni 1994
kenangan di jakarta selama 29,30 jam


peristiwa

di stasiun tua ini
kereta berhenti
berlompatan para pengasong
dari gerbong satu ke gerbong lainnya
menawarkan nasi bungkus

untuk hidup ini
dan demi sesuap nasi
nyawa dipertaruhkan di atas kereta api
resiko tergencet gerbong itu pasti
dan akhirnya mati

sementara di sudut lain negeri ini
para orang berdasi
berlompatan dari merpati ke sempati
untuk mengatur industri dan membabat negeri
atas rekomendasi sang papi

inilah pemandangan negeri kami
yang diwarnai peristiwa tragis
membuat sebagian orang harus meringis
dan menahan tangis
agar tetap eksis di negeri sendiri

18 juni 1994
di atas ka fajar utama antara semarang - cirebon - jakarta

Selasa, 20 September 2011

SUBAIDI PRATAMA


Lahir di Jadung, Dungkek, Sumenep, pada tanggal 11 Juni 1992. Ia senang bergiat di bidang sastra
Semenjak dirinya duduk di bangku MTs/SMP, tepatnya kelas VII.
Jenjang pendidikan yang ia tempuh MI/SD Tarbiyatul Muta’allimin Jadung, MTs/SMP Tarbiyatus Shibyan Jadung, kemudian belajar di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep lulus tahun 2010. Lalu sekarang melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang. Ia pernah menjuarai lomba cipta puisi tingkat kabupaten Sumenep dan Olimpiade MAI 2010, juara I cipta puisi yang di selenggarakan oleh ORDA ISI Annuqayah.
Di antara karya-karyanya yang berupa puisi dan cerpen, dimuat di Majalah lokal dan nasional. seperti Horison/kaki langit, Tera Senibudaya, dan beberapa Majalah di Annuqayah. Majalah Executive News Malang. Serta puisinya terkumpul dalam Antologi “Vestifal Bulan Purnama” Mojokerto. Bersama penyair muda Indonesia. Antologi “TIRTA”, dan antologi “Reportase Yang Gagal” Annuqayah. Dan ia pernah menulis Antologi tunggal “Pelayaran Seorang Pecinta” 2010. Merintis Komonitas PERSI (Penyisir Satra Iksabad) 2010, dan pernah aktive di Sanggar ANDALAS Annuqayah 2009-2010. Mengelola blog. airmatalangit.blogspot.com


Dedak Airmata


Kali ini langit telah berhenti menangis Fia,!
Tinggal kau meneguknya di tanggul-tanggul dedak airmata

Kau yang berjalan lembut, menjejaki tangga gunung, tanah-tanah hijau bersemu ungu oleh nafasmu. Kau bangunkan aku dari gigil malam, dan tubuhku pun jadi hijau-hangat terurai, mencucup bening cintamu yang mengembung hening di dadaku. Kini kau panggil lamat matahari bercakap akrab dengan arah yang teramat tertib. Angin pun datang mencibir guntur, awan pulang berangsur-angsur. Hingga kami, aku, pohon dan burung-burung sesekali kehilangan jejakmu.

Ada yang terjatuh dari tangkai hidupku Fia,!
Seperti serbuk langit, kuncup-kuncup Wingit mulai meleleh-gugur satu-satu. Menebar sari doa yang membuat kembang dan kumbang jadi kering. Yang membuat batang-akarnya ikhlas melepas tanah. Dan kau hujan, yang membunuh itu semua dengan dekejap tanpa rentang waktu dan musim kemarau. Kau seperti sebentuk rindu berjarak dari hatiku. Tinggal seberkas panas mengaku sebagai sumber airmata, dan bercerita tentang alam kematian.


Malang, 01-06-2011


Mendung Di Langit Malang

Selamat malam mendung
Silakan masuk kedalam jantung
Duduklah di atas ranjang
Ruang telah pekat
Menunggumu hampir sekarat

Berabat-abat di atas biru laut
Akulah langit bulat menggumpal
Semakin gigil berlari dan terus memanggil
Kearah utara kutub selatan
Hingga tak terukur jarak senapan

Dalam bayang nyala namamu
Makin menggunung
Menggiringku bawah tanah
Lalu terjun keatas awan menembus bulan
Hingga aku tau makna laut
Dalam bukan di bumi
Pun tinggi tidak di langit

Tiap malam embun datang
Selalu kusebut Kau sebagai rindu
“selamat malam mendung
silahkan masuk kedalam jantung”

Lalu kemudian aku naik kebukit-bukit tertinggi
Serupa Elang dan burung Merpati
Mencari malam dalam kabut dadamu
Kupukul-pukul bulan tak nyata, matahari, gerimis,
Dan segenap tangis

Tiba-tiba kau diam begitu saja
Airmata menjelma debu dalam gelas
Angin pupus hembus
Serta daunan berhenti gerak
Dalam diri tak pernah beranjak

Tinggal kau yang terus berlari
Keanak sungai mencipta imaji
Dan aku tak cukup aku
Meski kau adalah diriku
Sebab warna langit sama biru

Malang, 10 Januari 2011


Ritus Gerimis Bulan Agustus

Gerimis baru itu, mendatangkan tangis biru
Sekejap mataku bertalu-talu
Mengantarkan surat warna langit yang kelabu

Ritus gerimis bulan agustus
Menajamkan pikiran pada jejak ingatan
Yang menikung; dalam
Masa lampau, sekarang dan akan datang
Bergelombang dalam pikiran

Otakku serupa laut tak pernah surut
Meski biru airnya kau sebut kecut
Ia, akulah laut tak habis gelombang
Tempat menampung segala air matamu

Malang, 11 januari 2011


Hujan Turun Sembahyang

Tak ada yang perlu kau tau
Hujan kali ini turun sembahyang
Membasahi taman kuburan
Tangkai rintiknya menggali tanah
Aku menjerit bersama do’a getar-petir
“semoga tak banjir”
Meski sembahyangku penuh khawatir

Malang, 13-03-2011


Sabda Gerhana

Kubiarkan kerling malammu menusuk mataku
Agar angin dan abu leluasa masuk, pulang pergi
Serupa pendar matahari
Agar aku bisa mencuri air surga untukmu

Kemudian minumlah, airku segar tapi hanya secangkir
Jangan buang jika kau tak mau, sebentar lagi ada yang minat
Sebab aku teramat penat, kalau begitu congkel saja mataku satu

Lalu lemparkan kelubang langit
Biar menyala jadi bulan

Dan bersabda pada bintang lainnya
:akulah bulan penguasa gerhana
Yang akan kau ledakkan di rahim purnama

Malang, 02-06-2011

Janji
:Buat Awan,s

Aku telah berjanji akan mengubur kenangan pedih yang lampau
Aku juga berjanji akan setia pada hati puisi, seperti ucapmu kemarin
“aku ingin belajar mencintaimu dengan islami”
Seperti ingatan tentang kupu dan bulu-bulu, sudah kubilang
Semua hanya soal waktu, dan akan kutanggalkan kenangan pedih itu
Seperti kelopak yang harus jatuh. Sebab begitulah senyum berpulang dan perih bertandang.
Kini kau-aku harus memulai senyum baru seperti burung dan awan yang melahirkannya.

Malang, 02-06-2011

Jumat, 10 Desember 2010

Monik bismono


Kelahiran malang, 27-agustus , dalam berteater dan tulis-menulis sering menggunakan nama wien.monik atau Moniqoe Wienz Mulai menulis puisi ketika masih SMP hingga sekarang. Puisi-puisinya banyak dipublikasikan di media Face Book. Disamping puisi dan teater juga senang membaca puisi dan menyanyi. Pernah tergabung dalam kelompok theater,kegiatan sehari-hari dulunya sebagai singer,dengan berjalannya waktu,kegiatan di atas panggung beralih posisi lebih banyak berada di belakang layar. Ibu dari 2 orng anak,putra dan putri (tetapi mereka sudah mandiri ),sehingga lebih banyak waktu luang untuk mengekspresikan kreatifitas dalam berpuisi.
Sekarang berdomisili di jl. danau semayang blok E1/F.16 Sawojajar-malang 65138 (phone:081334854060) bekerja sebagai E O (Event Organizer)


Puisi Pendek Berupa Haiku

Senja Memerah, Hatiku Resah

Aku terdiam
duduk di bangku taman
bayangmu datang

tawarkan asa
pada secawan anggur
bernoktah bimbang

aku tertawan
hati jatuh terjengkang
luka meradang

senja memerah
raga merebah pasrah
dilamun resah

rasaku pilu
melayu bunga rindu
ditawan ragu

kaki tak sanggup
mengejar bayang semu
menembus waktu

kau berlalu
patahkan ranting jiwa
tinggalkan duka.

KOTA DINGIN; 17-03-2011


DURJANA BERTOPENG BATARI DURGA

Bersilat lidah bukanlah menabur umpan
pengenyang perut si burung gagak
meski busuk aroma menebar bunga bangkai
tak kunjung puas mata jalang menelanjang ruang
mengaisi setiap inci isi lemari terkunci
bau anyir terjabar di ujung pisau kata
menerobos pintupintu menoreh sayatan luka
tereja tanpa makna,tanpa logika
karna batok kepala pecah bernokhtah nanah
seribu wajah terjelma merasuki topeng batari durga
mengundang jiwa moksa dilarung sang kala
bangkitkan tidur lelap angkara murka
sungguh durjana tak bermuka manungsa
menanam malapetaka di padang kurusetra.

KOTA DINGIN; 2-12-2010


KUTIRAHKAN HATI PADA SEPI NASTITI

lembarlembar daun penatku berguguran
merebah pada lembab tanah basah
bukan luruh karna ranting tlah patah
hanya ingin kutirahkan barang sejenak
dari meriuhnya kibasan angin yang menyinggah
bersemayam pada ruang sepi nastiti
andai wangi kemuning tersangkut di pucuk cemara
ingin kuraup setangkup kularung di cawan raga
kujadikan peluruh sukmaku agar diam terlelap
tak lagi terjaga hanya karena terpercik bara
biar kupatri mati semburat kata yang ingin mencuat
tak guna tepian bibir ditanam sinis sumpah serapah
karena benih tumbuh membakar semak petaka
menista diri tenggelam di lautan emosi
bagai menangkap gumpalan bola api.

KOTA DINGIN; 2-12-2010


KARENA AKU BUKAN PELAKON SANG DAYANG SUMBI

Pada temaram langit malam
paras rupawanmu tergambar samar
hatiku berdenyut-denyut rasa tercabut
karna senyummu mengepak-ngepak sayap
ingin kutelanjangi tubuh malam
agar kelambu kabut tak menghalang kasat pandang
nanar mata sayuku yang lelah dibebat rindu
ketika jendela hatimu sungguh tersingkap
seketika lesu hatiku mengelabu
bahkan bibirpun kelu membisu
dirasaku tak lagi sanggup menadah rayumu
meski jika engkau tau itu yang aku mau
namun langkah mengajakku mengelak
manakala segenap malu mendulang angan
biarkan bahteramu melayari lautan hatiku
tanpa melepas sauh bersandar di dermaga
aku bukan pelakon sepenggal legenda sangkuriang
gambaran seikat janji menjerat kaki sang dayang sumbi.

KOTA DINGIN; 23-11-2010


KULARUNGKAN SEGALA KISAH,KARENA AKU TLAH KALAH

Tlah kularung bongkahan cerita yang tersimpan pada peti benak
agar segala kisah melesat lenyap bagai anak panah yang terlepas
cerita berlagu tentang asmara sang pujangga
bukanlah hikayat yang runtuh bagai kayu lapuk
keropos dimakan rayap-rayap tak bersayap
isi otakku bukan benda mati yang mudah terkontaminasi
karna nalar yang tercerna bukan sekedar igauan tak bernaluri
roh jiwaku terlalu suci untuk dijadikan tumbal altar
setiap jengkal rasa coba kusemaikan di ladang liarmu
namun yang engkau tangkap hanya sebatas benih tanpa makna
lantas untuk apa menyinggah jika hanya menabur resah
bukankah sia-sia manakala dua jiwa tak menemu ujung arah
lajuku bukan angin yang menderu terpacu lugu
hingga engkau sanggup menggaru benih cemburuku
kini kukayuh nampan bahteraku melaju menjauh darimu
mengarungi samudera angan yang tak terpancang berlayar bimbang
biar kupandang elok kemilau sang rembulan yang setia menerang malam
lantas kupungut cahaya bintang kujadikan pijakan arahku berjalan
menembus kegelapan menyibak ranting-ranting hutan larangan
agar tapak kakiku tak lagi tersesat pada halusinasi fatamorgana
mendalang di pedalaman hatimu yang tak bernuansa
sungguh engkau bagai burung hantu yang sedang menyaru
meniru keciap kutilang mendendang syair seribu rayu
namun engkau keliru,kelopak bunga rinduku terlanjur melayu
karna waktu mengajakku berlalu,menanggalkan jubah nelangsa
aku tak mengumandangkan keluh kesah,meski ragaku merebah kalah.

KOTA DINGIN; 24-11-2010


LUKISAN EPISODE YANG HILANG

Di ketika langkah berpijak menoreh jejak
segala kecipak semburatkan percik cerita
mengendap diam sembunyi di lindap malam
bagai drupadi melarung karna putra dewata
tanpa tetabuhan pengiring nyanyian burung-burung
yang terbang ke timur kembali mengunci sarang
hanya pada derit gesekan tepi daun bambu
kulantunkan syair gurindam penawar racun dilara
agar renjana tak menyirna ditelan bibir masa
biar musim bergulir di pusaran yang membimbang
kuingin flamboyan tak sekedar peneduh kala melenguh
karena pada semburat merah jingga bunganya
kutitipkan setiap episode yang hilang dari ruang ingatan
mati terpatri dalam kanvas lukisan angan.

KOTA DINGIN; 14-11-2010


BUNGA CINTA DI JAMBANGAN BENING HATI

Selayar nafas cintaku berayun di samudera gairah
menyusuri sepanjang tepian lorong urat nadi
kembaranya merambah kegelapan hutan naluri
tanpa janji,tanpa emosi,tanpa gravitasi
hingga lajunya tak butuh garis ujung batas
ntuk sandarkan bahtera di pancang dermaga
segala kiprah bukanlah coretan yang terpatri
kubiarkan melaju mengikuti arah mata angin
kusintuhi,kunikmati lembut belaian di setiap jemari
yang menanting bunga rasaku di ladang persinggahan
suguhan seribu janji hanyalan buaian mimpi siang hari
bagai lampu aladin terhidang di ranah tak berkisah
dayung kukayuh bukan ntuk mencari yang tak kumiliki
aku sedang menikmati elok paras bunga cintaku
yang tak pernah melayu di jambangan bening hati.

KOTA DINGIN; 17-11-2010

Sabtu, 04 September 2010

Noviana Herliyanti


Lahir 1 Desember 1988 di Batang-Batang Sumenep, alumnus PP. An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura. Beberapa tulisan cerpen dan puisinya telah dimuat di koran lokal dan nasional, seperti di koran harian Seputar Indonesia (SINDO), Duta Masyarakat, Radar Madura, Radar Surabaya, Tabloid Infokom Sumenep, Buletin Obhur IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya, dan Website NU Online (PBNU Jakarta), dan kontributor buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” Penerbit Muara Progresif Surabaya. Dan kini juga aktif, sebagai Anggota Forum Komunikasi Penulis & Penerbit Pesantren (FKP3) Jawa Timur, juga aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya, dan di Komunitas Baca Surabaya (Kombas). Saat ini tercatat sebagai mahasiswi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Puisinya :

PEREMPUANKU DATANG DI PENGHUJUNG SENJA

Aku tak pernah memaksa wujudnya
Terlalu lembut
Terlalu halus
Menyusupi ruang
Aku tak pernah meminta
Untuk menyadari kedatangannya
Bagiku dia masihlah samar
Seperti cahaya mentari di siang hari
Tak nampak wujud hanya sebatas sinar memekakkan mata
Aku masih terlalu dini menyadari
Saat dia datang menawarkan secangkir pelepas dahaga
Serta sebungkus penawar air mata
Aku terlalu dini untuk merasakan bahwa
disetiap belaiannya ada cinta yang tak sempat tercurah

ingin kumenyadari ketak hadirannya
tapi jiwaku terlalu kerdil
aku hanya tahu bahwa dia tak pernah datang di tiap hariku
kehadirannya telah digantikan oleh gemerlap di pojok malam
wujudnya telah tergantikan
oleh perempuan-perempuan yang datang mengisi kekosongan

jika suatu saat aku butuh
itu hanya ketika malaikat menanyaiku
di rahim siapakah aku dilahirkan?!!!!

Baginya aku hanya pelengkap
Untuknya aku hanyalah pengisi status
Olehnya aku hanyalah hiasan sebuah keluarga
Dan
Jika memang itu kehendaknya
Maka untuknya aku akan menjadi neraka
Demi dia akan kujadikan hidupnya merana
Agar tak akan pernah lahir lagi
Anak-anak yang dilahirkan tanpa air mata…………..
Perempuanku,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Tak perlu lagi datang karena petang hanya milikku sendiri


7 Agustus 2010

Minggu, 09 November 2008

Fahmi Faqih


Fahmi Faqih

Dilahirkan di Banjarmasin pada 26 November. Menulis puisi, esei, dan catatan reportase. Sebagian tulisannya dipublikasin di Harian Surabaya Post, GONG, Pikiran Rakyat, Imajio, Tabloid Pilar, serta di media online seperti www.kabarindonesia.com, utamanya di cyberpunk www.cybersastra.net. Juga ada terhimpun dalam antologi bersama seperti: Antologi Malam Sastra Surabaya 2005 dan 20007, Antologi Penyair Mutakhir Jawa Timur dll.

Sekarang bekerja dan tinggal di Surabaya.

Puisi-Puisinya antara lain :

Zakaria

Hanya sekeluh aduh terucap dari bibirmu
Ketika ratusan kampak Majusi
Mencincang-cerancang pohon itu

Tapi bukan karena sekeluh aduh
Bumi goncang
Langit menggemakan firman

“Zakaria! Itu kata hanya pantas keluar
Dari mulut berhati sumbing. Jahitlah ia
Atau nubuat ini kutarik kembali”

Kau yang akhirnya mengerti
Memilih diam bersama gugur daun-daun
Yang bernyanyi

Dalam cinta
Tak ada beda mawar dan duri

2005

Januari

Dan aku pun pulang
Menuju rumah
Yang hanyut pada kelender

Tanggal demi tanggal
Bertanda lingkaran hitam

Air di sini
Menjelma kuburan

2006

Bohemia

Aku ada di sini entah mengapa
Seperti setiap perjalanan yang usai kulalui
Yang selalu saja tak punya alasan tepat
Untuk kusodorkan padamu –
Seperti udara yang senantiasa kuhirup
Namun selalu gagal untuk kulukiskan

Aku ada di sini entah mengapa
Tapi tolong beri aku kesempatan, sekali saja –
Setidaknya sampai aku punya alasan tepat
Kenapa aku selalu berpindah kota
Sampai kulukiskan udara itu

2006

Di Surabaya
- untuk TS

Di Suarabaya
Kita pun berjanji
Selepas riuh senda Kya-kya*
Kesedihan tak ada lagi
Biarkan membubung bersama asap dupa
Setelah Ampel** kita ziarahi

Di Surabaya
Kita pun menyadari
Kelak
Salahsatu dari kita

: pergi ke balik sunyi

2005
---------------------------------
*) Kya-kya: Tempat makan di sepanjang Jalan Kembang Jepun yang hanya buka malam hari. Dulu bernama Pecinan.
**) Ampel: Kawasan tua, tempat penziarahan di mana Sayyid Ahmad Rahmatullah Sunan Ampel – salahsatu dari Walisongo – dimakamkan


Alun-Alun Selatan 4 Oktober 2006
- Kepada Arahmaiani

Hari itu
Langit menghantarkan sore penuh debar
Bergemuruh di dadaku
Bergedup di dadamu

“Siapakah yang sanggup menahan ketukan rindu
Di pintu hati yang lama beku?”

Kau telah menghindari jalan ini ribuan kali
Dan aku sengaja menyesatkan diri
Ke balik malam dan mimpi

Tapi hari itu
Di sore yang penuh debar itu
Airmata
Sanggup melubangi batu!

Senin, 15 Oktober 2007

Yusri Fajar


Yusri Fajar
(Malang)

Lahir pada tanggal 17 Mei 1977. Tinggal di Malang Jawa Timur. Menggeluti penulisan puisi sejak di sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia adalah alumnus Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember Jatim. Selama kuliah menjadi Pengurus Bidang Puisi Dewan Kesenian Kampus Fak. Sastra Unej. Sejak tahun 2004 menjadi Staf Pengajar tetap di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang dan membina Teater di Program yang sama. Tahun 1998 Puisinya menjadi runner-up lomba puisi yang diadakan oleh Koran Suara Indonesia. Pada Tahun yang sama puisinya juga menjadi juara lomba puisi reformasi yang diadakan oleh radio Prosalina FM Jember. Sementara Tahun 2001 Puisinya menjuarai lomba cipta puisi yang diadakan oleh Forkom Kader Bangsa Jawa Timur dan Dewan Kesenian Malang. Puisi-puisi, cerpen dan artikelnya pernah disiarkan di Koran Surya, Surabaya News, Tabloid Nurani, Majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta, Malang Pos, Tabloid Ideas, Tabloid Bestari, Jawa Pos Radar Malang, Majalah Reform dan lain Sebagainya. Salah satu puisinya :

Senandung Tubuh Luruh
Keranda di atas trotoar
Mengirim kabar yang gemetar
“Ada tubuh luruh
Di garis tengah jalan
Yang berubah kehitaman.”

Mata kata sekejap sirna dari cahaya
wicara membeku dalam detak kaku
sukma membisikkan syair selamat datang
Pada bentangan kafan dan galian liang
Di hari petang yang lengang.
Suaranya lirih karena perih.

Jalan dikurung deru luka
Pilu tumpah tersedu-sedu
Batas telah memberi akhir
Melambaikan kain hitam menyerupai
kerudung di tengah kerumunan peziarah.
wajah mereka bersemuka dalam nada
terpaut kalut di tepi garis maut
Tempat nyawa dijemput.

Airmata memendar di langit terbuka
Melukis nestapa yang sia-sia.
Batin tak henti melantunkan tembang luruh
di pinggir waktu yang hening dan gaduh.

Malang, Juli 2005

W.Haryanto


W. Haryanto
(Surabaya)

Lahir di Surabaya, 14 Oktober 1972.. Penyair, Ketua redaksi Majalah Kidung, dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur. Menamatkan studinya di Fakultas Sastra Unair Surabaya. Karya-karyanya tersebar di beberapa media massa antara lain: di Jurnal Kalam, Jurnal Filsafat Mitra, Sastra, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Puitika, Bali Post, Surabaya Post, Mimbar, Penyebar Semangat, Retorika, Suara Airlangga dan lain-lain. Puisinya berjudul Rumah Impian memperoleh juara II dalam Peksiminas ke-5 tahun 1999, sejumlah puisinya yang lain terkumpul dalam pelbagai antologi antara lain : Zaman (1995), Keajaiban Bulan Ungu (2000), Luka Waktu (1998), Memo Putih (2000), Malsasa 2000 (2000), Kabar SakaBendul Merisi (2001), Gelak Esei dan Ombak, Puisi Bentara (2001,2002), Birahi Hujan (2004), Dian Sastra for President : End of Trilogy (2005), dan Duka Atjeh Duka Bersama (2005). Antalogi tunggalnya Labirin Dari Mata Mayat (2003), Cerita Buat Putri Rajab (2004). Kini bekerja sebagai staf Balai Bahasa Surabaya. Salah satu puisinya :

Aku Berdiri Dalam Bayangmu Seperti Pencuri
--kepada : N

1.
Dulu, Tak ada bulan,
lalu aku patah. Dingin kencang
menyisir batas yang tak sengaja
kucemaskan. Kemarin
dan lama,

Masih aku berhutang satu hal, barangkali
pilihan yang terburu. Kerdip sunyi,
bau basi ikan asin—

Lama,
aku bermain dengan suram, mencerca,
sisa gerah yang riuh tanpa penghubung
angsa-angsa yang mendesak lapar. Dalam
semua bayangan, Juni yang pemalu
yang tersisih

ke bumi yang letih. Tak lebih gigih, lampu
lampu kerjap pada kota yang lama,
lupa, cuma dengus, lalu dalih
seperti pijar
2.
--di Stasiun Tugu
…. begitu menekan. Orang-orang berebut kursi
dan letak sumur,

biar harum, atau tatapan licik
kupu-kupu bubar sisih menyisih. Seperti perempuan
menunggu tumpangan ; O cahaya April

bunga batu menekuk lutut
merah berpacu dengan tali kekang
berputar, tali diputar, pilihan atau mata
yang ingin tahu—jauh ke dalam hulu
jam 3, stasiun tugu, lampu-lampu jingga
bukan anjing. Kau tahu
melulu sundal. Kau bisu

Tuhan, ini bukan mimpi bualan
adakah yang lebih lantang ketimbang bimbang
pesanmu pucat, mencicip burung lingsir
Dapatkah sedetik saja, aku jatuh
ke hilir payudaramu, mencicip urat
urat susumu—” sungguh,
ini bukan kesan yang luang.”
Bersama orang-orang pesisir kubentuk burung
dari potongan bayangan

Beri debarmu—
beri kepada minat angin yang menyapu kampung
kampung awan,”beri aku kesanmu, biar aku tak terlalu rindu.”
Tapi bulan mati. Kadang kusuka
acuh. Takbir yang singkat dan lebih terburu
Meringkas formasi angsa. Agustus ketiga, sapuan warna biru,
Batas antara kesan dan warna
Lalu kubuka kancing-kancing bajumu, lekat
ke harum susumu
Tak cukup bubuhkan tanda ke pesisir
Tuak atau pucat muka nahkoda
pada penghubung antara awan dan tatapan
Kita Cuma berkisar dengan saling menandai
Tanda koma pada almanak

Tapi angin. Semua besertanya : aku & buih ….kehadiran
& kemalangan. Kita sama—dalam menyadari tapi tangan kita
terkunci
di belakang karnaval

Tapi sabtulicik seragam hitam. Tuhan yang miskin yang pander
yang mainkan lagu yang palsu. Dapatkah kita lapang dengan
menyadari cinta ke buritan

(Surabaya, 6 September 2005)